Daily Archives: September 17, 2019

My Secret Parenting Style #1 : Left Hand is a Good Hand Too

Standard

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Wilujeng evening! Semalam tiba-tiba kepikiran sebuah topik buat ditulis di blog.. Tapi udah kebayang bakal panjang tulisannya dan bisa jadi ujung-ujungnya ga selesai lagi seperti yang sudah-sudah.. LOL #lagulama

Lalu kepikiran instead of nulis semua poin-poinnya (yang mana tentu bikin lama) di satu tulisan, gimana kalau satu minggu nulis satu poin sahaja. Sepertinya lebih reasonable. Though only Allah knows apakah saya bakal rutin nantinya atau tidak, but at least I will finish one shorter post today instead of drafting looonger post for weeks, and that’s good enough for me now. So, the rest of it kita lihat saja nanti ya. #terlalujaksel #maapkan

Jadi topik yang mau saya angkat kali ini adalaaah, tentang beberapa metode parenting yang saya (dan Mr. Ghifary) lakukan yang tidak umum bagi sebagian orang (baca: orang Indo), but hey, it works for us! And that’s all that matters.

Inget ya buibu pakbapak, catet, gaya parenting itu muacem macem. Berhasil di sebuah keluarga, bukan berarti pasti bisa diterapkan oleh semua orang. Everyone, every children, every parents has different condition. Ga boleh maksa. Ga boleh merasa lebih baik bahkan menjatuhkan orang lain. Hanya karena parentingmu berhasil di keluargamu, dan orang lain tidak melakukan hal itu. Mind your own motherhood, allright?

Lanjut. Maka dari itu saya mau cerita satu per satu gaya parenting kami yang mungkin tidak biasa. Fyi, kami sekeluarga tinggal di New Zealand sekitar 6 tahun sejak anak pertama kami berusia 14bulan. Jadi mau tidak mau ‘guru’ parenting terdekat kami adalah parenting ala NZ, yang tentu saja tidak 100% sama dengan gaya parenting, adat dan kebiasaan orang Indonesia.

Sekali lagi, beda itu bukan berarti buruk. Justru saya merasa beruntung bisa ‘piknik’ ke NZ dan mendapat insight baru tentang berbagai hal, termasuk gaya parenting NZ yang akhirnya sedikit banyak mempengaruhi metode parenting yang saya anut sampai detik ini. Who knows, dengan saya tulis di sini kemudian bisa menjadi inspirasi bagi sebagian yang lain, termasuk juga anak-anak saya tentunya.

Ohya, I am not writing these for you to do it too, to make you agree with me. I am writing this purely to give other people some more pespective. I couldn’t care less if you do the opposite things of what we do. So, if you disagree with me, that’s totally okay. If you feel like changing me, I am not so sure you could. But if you want to challenge me, just write your thoughts in comments below..

Langsung aja ya, minggu ini my secret parenting yang akan saya bahas adalah:

“Left Hand is a Good Hand Too”

Masih jelas dalam ingatan saya, ketika Naisha dan Rumi berusia sekitar 2 tahun, dua-duanya pernah berinteraksi dengan 2 ibu orang Indonesia yang berbeda, di tempat yang berbeda juga (Naisha di Wellington, Rumi di Bandung), namun kedua ibu memiliki reaksi yang sama. Keduanya menawarkan Naisha dan Rumi barang, yang kemudian diambil oleh mereka dengan tangan kiri, lalu kedua ibu berkata persis sama,

“(Ambil dengan) Tangan yang manis dong”, ujar keduanya.

Tentu setelahnya saya mengarahkan Naisha dan Rumi untuk mengambil barang dengan tangan kanan, menghargai kedua ibu tersebut. BUT, the secret is, dalam keseharian kami, most of the time saya dan Mr. Ghifary tidak mengarahkan Naisha dan Rumi untuk memprioritaskan penggunaan tangan kanan dalam berbagai hal seperti menulis, mengambil dan memberi barang, melempar, menggunting, dsb. Karena bagi kami, tangan kiri juga tangan yang manis, tangan kiri juga tangan yang baik. There’s nothing wrong with tangan kiri. Kenapa ia harus didiskriminasi?

Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah makan pun juga diperbolehkan dengan tangan kiri? Jawabnya adalah, Ya. Naisha dan Rumi dibiarkan makan dengan tangan kiri hingga usia sekitar 3-4 tahun. Apaaa? Makan pakai tangan kiri?? Yes, Rumi sampai sekarang tidak jarang masih makan pakai tangan kiri, dan kami biarkan. Sementara Naisha, sejak usia 4-5 tahun sudah mulai di-training makan pakai tangan kanan, sehingga sekarang usia 7 tahun sudah terbiasa makan dengan menggunakan tangan kanan.

Jadi sebetulnya butuh 2-3 tahun saja lho, untuk mempersiapkan anak makan dengan tangan kanan. Ga mesti dari awal banget BLW MPASI gituh. Lantas kenapa akhirnya ujung-ujungnya tetap kami training makan pakai tangan kanan di usia 4-5 tahun? Karena ya memang makan sunnahnya pakai tangan kanan, dan di usia tersebut anak mulai bisa berpikir kritis, sudah bisa melakukan reasoning. Ketika Naisha mulai di-training makan dengan tangan kanan, saya berikan alasan “karena tangan kiri untuk cebok” sebagai dasar mengapa harus pakai tangan kanan untuk makan. Alasan tersebut dengan mudah Naisha pahami. Tentunya penjelasan tersebut tidak mudah dimengerti anak bayi maupun toddler ya, makanya mungkin muncul istilah “tangan kanan tangan manis”, yang buat kami bukanlah alasan yang tepat untuk disampaikan kepada anak-anak kami.

Apa sih yang mendasari kami membebaskan penggunaan tangan kiri bagi Naisha dan Rumi? Semua berawal dari ketika saya dan Naisha (saat itu 17 bulan) ikut Playcentre, sebuah PAUD ala New Zealand. Di sana pertama kali saya melihat anak-anak kecil makan, menulis, menggunting menggunakan tangan kiri. Saat itu juga saya terpana dan merasa iri. Wow, bebas sekali mereka, bisa eksplorasi dan berekspresi tanpa batasan. Tidak ada yang menghentikan mereka di tengah asyiknya kegiatan hanya untuk memindahkan pensil dari kiri ke kanan. Freedom. “They are so lucky”, pikir saya kala itu.

baca juga:

A Closer Look at Playcentre

Jadi Guru di Playcentre Part 1

Jadi Guru di Playcentre Part 2

Sejak itu saya berpikir dan melakukan observasi lebih dalam lagi. Hasil pengamatan saya, anak-anak usia 3-4 tahun ke bawah, masih sering menggunakan kedua tangannya secara bergantian. Sementara anak usia 4-5 tahun, sudah menunjukkan kecenderungan penggunaan tangan utamanya. Sementara hasil pemikiran saya, tentulah tidak dosa seorang anak usia dini makan dengan tangan kiri. Toh mereka juga masih anak-anak suci tanpa dosa. Sementara menulis, menggambar, menggunting, main gitar, rasa-rasanya tidak ada hukum agama yang melarang penggunaan tangan kiri untuk hal-hal tersebut. Lalu kenapa anak-anak harus dipaksakan untuk menggunakan tangan kanan? Hasil pemikiran dan observasi saya pun berujung pada keputusan untuk membiarkan sang toddler Naisha (juga Rumi sekarang) untuk sebebas-bebasnya menggunakan kedua tangannya untuk kegiatan apapun.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, anak-anak NZ yang dibebaskan penggunaan kedua tangannya itu lantas jadi kidal nggak? Gak takut Naisha dan Rumi jadi kidal juga? Sepertinya ini masih menjadi ketakutan banyak orang tua, bahkan kakek-nenek Indonesia kebanyakan ya. Tapi tidak bagi kami. Memang betul, tidak sedikit anak NZ usia 4-5 tahun sudah jelas terlihat kecenderungan kidalnya, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari pengguna tangan kanan. And that’s okay. Being left-handed is okay. Do you know that NZ have special day celebrating left-handers? Sebagian Playcentre bahkan memfasilitasi anak-anak kidal dengan khusus menyediakan gunting untuk anak kidal. Dari NZ kami belajar, kalaupun anak-anak kami kidal, that’s totally okay with us. Being left-hand is what they are (the left-handers), but it doesn’t define them. Every child is their own individual, whether they are right handed or left handed. We won’t be embarrased or dissapointed even if they are left-handed. We would still love them unconditionally. Dengan catatan, kami akan tetap men-training anak-anak untuk melakukan sunnah-sunnah Rasul yang spesifik mengajarkan penggunaan tangan kanan (contohnya, makan dan berpakaian) ketika waktunya tiba, yakni masuk usia reasoning di 4-5th. Sebelum itu, biarlah si tangan kiri berfungsi maksimal sesuai fitrahnya.

Lalu apa manfaatnya membiarkan anak bebas menggunakan kedua tangannya? Freedom, for kids, is a big thing. To be able to play, explore, experience, create, without limit or interruption is a blessing. Selain memiliki kebebasan, anak juga mendapat kesempatan umtuk memaksimalkan penggunaan tubuhnya. Kedua otot tangan baik kanan maupun kiri jadi bisa terstimulasi dengan sama baiknya.

Kadang saya iri, lihat Naisha yang sedang menggunting, berhenti sesaat untuk mengganti tangan yang ia gunakan untuk menggunting. Tangan kanannya pegal, katanya. Jadi ia gunakanlah tangan kirinya, dengan begitu mudahnya. Atau ketika kami bermain badminton, ia memulai pertandingan dengan servis dari tangan kirinya, walaupun dia tidak kidal. Karena kedua tangannya selama ini diajak bergerak dengan porsi yang sama, maka keduanya pun tidak canggung untuk melakukan hal-hal yang sama. Cmiiw, memaksimalkan fungi kedua tangan juga memiliki efek positif untuk keseimbangan tubuh, pun keseimbangan otak kiri dan kanan. I can say, I have no regret letting her using her left hand to do everything when she was younger. It was a good decision, indeed. Insya Allah.

Just so you know, sejak usia 4-5 tahun Nasha sudah menunjukkan kecenderuannya sebagai “right-handed”, tanpa mengecilkan sedikitpun peran tangan kirinya. Naisha sendiri yang menentukan bahwa Ia lebih nyaman menulis, menggambar, menggunting, menyisir dsb dengan tangan kanan. But again, tangan kirinya masih sesekali digunakan olehnya seperlunya.

Oh wow, baru satu poin my secret parenting, udah lewat 1200 kata tanpa terasa hahaha. Padahal rencananya mau nulis posting pendek saja. Sulit, ternyata. Baiklah kita akhiri dulu di sini kalau begitu. Sampai jumpa di seri “My Secret Parenting” berikutnya minggu depan ya, Insya Allah. Bye!

Wassalaamu’alaikum wr. wb.